28 Januari, 2014

KEBUDAYAAN DAN PROSES PEMBANGUNAN



KEBUDAYAAN DAN PROSES PEMBANGUNAN
Rininda Dhaneswara
11411134013
D-3 Sekretari
Kebudayaan
Manusia memiliki dua kekayaan yang membedakannnya dengan makhluk lain yakni, akal dan budi yang memunculkan cipta, rasa, dan karsa. Akan tetapi manusia lebih didomininasi oleh akal sehingga mereka kurang peka akan masalah – masalah sosial yang terjadi dilingkungannya, bangsanya dan negaranya. Begitu pula yang terjadi pada kalangan mahasiswa di perguruan tinggi. Untuk itulah Ilmu Budaya Dasar diperkenalkan pada perguruan tinggi pada tahun 1970. Ilmu Budaya Dasar merupakan “Body of Knowledge” (tubuh keilmuan) dengan sasaran masalah-masalah manusia dan budayanya mencakup filsafat, teologi, sejarah, seni dan cabang-cabangnya. Dan sasarannya juga untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia dalam kedudukanya sebagai makhluk berbudaya. Dalam penuntasan masalah dapat diselesaikan secara manusiawi; dalam arti tidak sampai menimbulkan kerugian bagi semua pihak yang terlibat dengan cara juga memperhatikan kepentingan orang lain bukan hanya kepentingan diri sendiri. Sebelum membahas lebih jauh berikut ini ada beberapa pengertian mengenai kebudayaan. Dawson dalam buku “Age of the Gods”, mengatakan bahwa kebudayaan adalah cara hidup bersama (culture is common way of life). Sedangkan Ralph Linton (1893-1953) seorang antropolog Amerika menyatakan kebudayaan adalah “Man’s social heredity” (sifat sosial manusia yang temurun).
Dan dari Indonesia Prof. M.M. Djojodiguno dalam buku “Asas-asas Sosiologi (1958)”, kebudayaan/ budaya adalah daya dari budi, yang berupa cipta, rasa, dan karsa.
a)    Cipta      :  Ilmu pengetahuan, yang bersumber dari pengalaman lahir dan batin.
b)     Karsa      :  Norma-norma keagamaan/ kepercayaan, yang bersumber dari “sangkan (lahir) dan paran (mati)”.
c)    Rasa       : Norma keindahan yang menghasilkan kesenian, yang bersumber dari keindahan dan menolak keburukan atau kejelekan.
Jadi, kebudayaan adalah hasil dari buah budi (gagasan) manusia yang berupa cipta, rasa dan karsa baik yang kongkrit ataupun abstrak yang bertujuan untuk mencapai kesempurnaan hidup. Yang dalam pengaplikasianya di lakukan dengan pola – pola perilaku, bahasa, organisasi sosial, religi, seni, dan lainnya yang telah menjadi kebiasaan yang turun temurun dari leluhur.
Ada tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1979: 186-187). Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma. Kedua wujud kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat. Ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama berbentuk abstrak, sehingga tidak dapat dilihat dengan indera penglihatan. Wujud ini terdapat di dalam pikiran masyarakat. Ide atau gagasan banyak hidup bersama dengan masyarakat. Gagasan itu selalu berkaitan dan tidak bisa lepas antara yang satu dengan yang lainnya. Keterkaitan antara setiap gagasan ini disebut sistem. Koentjaraningrat mengemukaan bahwa kata ‘adat’ dalam bahasa Indonesia adalah kata yang sepadan untuk menggambarkan wujud kebudayaan pertama yang berupa ide atau gagasan ini. Sedangkan untuk bentuk jamaknya disebut dengan adat istiadat (1979: 187). Wujud kebudayaan yang kedua disebut dengan sistem sosial (Koentjaraningrat, 1979:187). Sistem sosial dijelaskan Koentjaraningrat sebagai keseluruhan aktifitas manusia atau segala bentuk tindakan manusia yang berinteraksi dengan manusia lainnya. Aktifitas ini dilakukan setiap waktu dan membentuk pola-pola tertentu berdasarkan adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Tindakan-tindakan yang memiliki pola tersebut disebut sebagai sistem sosial oleh Koentjaraningrat. Sistem sosial berbentuk kongkrit karena bisa dilihat pola-pola tindakannya dengan indra penglihatan. Kemudian wujud ketiga kebudayaan disebut dengan kebudayaan fisik (Koentjaraningrat, 1979: 188). Wujud kebudayaan ini bersifat konkret karena merupakan benda-benda dari segala hasil ciptaan, karya, tindakan, aktivitas, atau perbuatan manusia dalam masyarakat.
Koentjaraningrat juga mengemukakan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yaitu bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, dan sistem ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1979: 203-204). Ketujuh unsur kebudayaan ini disebut Koentjaraningrat sebagai unsur kebudayaan universal karena selalu ada pada setiap masyarakat. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa ketujuh unsur tersebut dapat diperinci lagi menjadi sub unsur hingga beberapa kali menjadi lebih kecil.
Pembangunan
Pembangunan kebudayaan haruslah bertumpu kepada filosofi kebudayaan nasional. Di dalam Pancasila yang merupakan falsafah hidup bagi bangsa Indonesia dan Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan melindungi sege-nap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia terkandung nilai-nilai filosofis kebudayaan nasional. Implikasinya terhadap kebijakan pembangunan kebudayaan adalah, kedua dokumen yang sangat penting tersebut hendaknya dijadikan tumpuan atau landasan. Jangan ragu-ragu menyebut Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dalam menjabarkan kebijakan pembangunan bidang kebudayaan. Pengertian pembangunan berikut memperjelas apakah pembangunan itu.
Menurut Siagian (1994), memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan per­ubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”. Sedangkan menurut Ginanjar Kartasas­mita (1994) , memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana.
Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di atas, pembangunan adalah sumua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana. Sedangkan perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi secara alami sebagai dampak dari adanya pem­bangunan
Dengan semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan ma­syarakat yang menyangkut berbagai aspek, pemikiran tentang modernisasi pun tidak lagi hanya mencakup bidang ekonomi dan industri, melainkan telah merambah ke seluruh aspek yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, moderni­sasi diartikan sebagai proses trasformasi dan perubahan dalam masya­rakat yang meliputi segala aspeknya, baik ekonomi, industri, sosial, budaya, dan sebagainya.
Oleh karena dalam proses modernisasi itu terjadi suatu proses perubahan yang mengarah pada perbaikan, para ahli manajemen pembangunan menganggapnya sebagai suatu proses pembangunan di mana terjadi proses perubahan dari kehidupan tradisional menjadi modern, yang pada awal mulanya ditandai dengan adanya penggunaan alat-alat modern, menggantikan alat-alat yang tradisio­nal.
Kebudayaan dan Proses Pembangunan
Secara historis industrialisasi mudah ditelusuri pada pembangunan di Negara sedang berkembang karena industrialisasi dianggap sebagai suatu pilihan untuk memberikan kesejahteraan dan kemakmuran untuk Negara sedang berkembang tersebut. Pada Negara sedang berkembang industrialisasi berasal dari ekspansi Negara maju yang telah memiliki industri di negara asalnya, walaupun masyarakat di Negara sedang berkembang diperkenankan ikut serta dalam setiap proses industri yang meningkatkan pengetahuan dan kemampuan yang digunakan untuk menciptakan banyak barang yang beragam.
Negara sedang berkembang justru terjebak dalam hutang luar negeri yang melebihi kemampuannya akibat ditempuhnya jalan pintas untuk melakukan industralisasi dengan mengadopsi semua sistem dan pola industri dari Negara-Negara maju yang mengakibatkan terciptanya monopoli, oligopoli, dan monopsoni, serta rusaknya sumber daya alam dan pencemaran lingkungan juga kurangnya partisipasi masyarakat karena tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan.
Dengan melihat berbagai kendala yang dimiliki oleh Negara sedang berkembang, dampak negatif dan konsekuensi dari pola industrialisasi itu, maka pada industrialisasi itu harus dilakukan secara historis dan bertahap. Secara historis dimaksudkan agar mendasarkan diri pada tahap-tahap perkembangan masyarakat. Sedangkan secara bertahap artinya dilakukan secara evolusioner sesuai dengan kemampuan masyarakat dan pencapaian setiap perkembangan masyarakat. Pola pembangunan seperti itu dapat dilakukan dengan dua cara:
1.   Melaksanakan sistem perekonomian tertutup dan proses pembangunan berencana secara sentral, dimana sektor Negara merupakan sokoguru dan pelaku ekonomi yang utama, dengan mengendalikan konsumsi dan tabungan secara paksa untuk membentuk modal bagi investasi.
2.   Dengan terus membuka perekonomian dan membiarkan sistem bekerja secara kurang lebih bebas. Secara sistem ini mempunyai beberapa variasi. Pada realitasnya Negara sedang berkembang justru memiliki sistem ekonomi campuran yang melibatkan pemerintah sebagai regulator dan pelaku ekonomi namun pada dasarnya perekonomian menggunakan mekanisme pasar dengan keikutsertaan pemerintah secara langsung dan tidak langsung dalam perekonomian.
Persoalan kebudayaan merupakan bagian penting dalam proses pembangunan. Kebudayaan terkait dengan persoalan karakter dan mental bangsa yang menentukan keberhasilan pembangunan di Indonesia. Apabila mental dan karakter bangsa yang cenderung destruktif dan koruptif tentunya tujuan pembangunan akan sulit terlaksana, begitu pula sebaliknya. Di sisi lain pembangunan multisektor lainnya juga membutuhkan peranan kebudayaan untuk mendukung suksesnya program-program yang akan dijalankan. Seringkali timbul permasalahan, ketidakberhasilan sasaran program yang dijalankan di daerah disebabkan oleh kurangnya dukungan dari faktor budaya masyarakat tertentu.
Kebudayaan nasional bersifat dinamis dalam arti selalu mengalami perubahan, atau perkembangan, baik disebabkan karena faktor intern maupun faktor ekstern. Menurut Prof. Dr. Mattulada, bangsa Indonesia (dalam arti nation Indonesia) kini memiliki kebudayaan nasional yang unsur-unsurnya berasal dari: kebudayaan bangsa atau kebudayaan daerah (sesuai dengan pemahaman pada tahun 1945), kebudayaan asing, dan kreasi atau hasil invention secara nasional.
Menurut  Prof. Dr. S. Budhisantoso, kebudayaan-kebudayaan Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori:  kebudayaan suku bangsa, kebudayaan daerah, dan kebudayaan nasional. Masing-masing kebudayaan itu mempunyai fungsi dan lingkungan penggunaannya yang efektif sebagai kerangka acuan yang memperlancar pergaulan sesama kelompok anggota sosial.
Terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 mengajarkan kepada kita bahwa pembangunan Indonesia yang bertumpu pada aspek pertumbuhan ekonomi saja ternyata keliru. Kejayaan ekonomi Indonesia mengalami kehancuran terkena krisis akibat lemahnya pondasi yang menyangga perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia yang dibangun dengan semangat KKN tidak kuat menerima terpaan krisis yang berawal dari krisis mata uang Thailand. Model pembangunan ala Pemerintah Orde Baru  yang terlihat kuat di luar tetapi rapuh di dalam memberikan pelajaran berharga bagi pengambil kebijakan ke depan agar tidak mengabaikan perhatiannya terhadap pembangunan sektor lainnya, khususnya sektor kebudayaan.
Kebudayaan  Indonesia berkaitan dengan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya masyarakat yang tinggal mendiami wilayah Indonesia. Kebudayaan Indonesia yang terbentuk dari ratusan budaya daerah memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan negara lain. Di sini ditemukan ratusan adat istiadat, kesenian, dan bahasa sukubangsa yang berbeda-beda, yang merupakan  potensi untuk dikembangkan dalam proses pembangunan ke depan terutama untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin. 
Terkait dengan aspek peningkatan kesejahteraan masyarakat, ada dua model pendekatan. Pertama dilihat dari sisi peningkatan kesejahteraan lahir, kebudayaan bisa dikembangkan dalam rangka mendukung timbulnya pariwisata yang ujung-ujungnya masyarakat akan memperoleh dampak ekonomi secara langsung. Selain itu pula dengan munculnya industri kreatif yang berbasis budaya lokal juga mendorong Usaha Kecil Masyarakat untuk tumbuh dan berkembang di wilayah pedesaan. Kedua dilihat dari segi peningkatan kesejahteraan batin,  pembangunan kebudayaan mampu menumbuhkan nilai-nilai kesetiakawan sosial, nasionalisme, cinta terhadap budaya sendiri,  toleransi, ramah, sopan santun, dan toleransi tinggi. Dalam hal ini pembangunan kebudayaan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari pembangunan pendidikan. Gambaran untuk membentuk manusia Indonesia yang kreatif, berkarakter, dan produktif merupakan keterpaduan antara pembangunan di bidang pendidikan dan kebudayaan. 
Pembangunan kebudayaan salah satu sektor penting yang musti dilaksanakan untuk kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu ke depannya seluruh stakeholder kebijakan (Pemerintah Pusat dan Daerah) perlu memperhatikan aspek kebudayaan untuk dijadikan landasan kebijakan dalam melaksanakan programnya masing-masing. Di samping itu pula peranan masyarakat dituntut aktif dalam pembangunan kebudayaan karena tanpa partisipasi masyarakat pelaksanaan pembangunan kebudayaan tidak dapat berhasil dengan sukses.
Apabila kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional diperbandingkan, kedudukan kebudayaan nasional lebih luas jangkauannya, karena ia menjadi kerangka acuan bagi seluruh penduduk tanpa membedakan asal-usul daerah maupun suku bangsa. Oleh karena itu, kalau kebudayaan daerah merupakan kebudayaan dominan di daerah maka kebudayaan nasional menjadi kebudayaan dominan di seluruh tanah air.
Pengembangan kebudayaan nasional sebagai kebudayaan dominan di seluruh negeri diharapkan dapat memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa. Namun, karena masyarakat dan kebudayaan yang ada di tanah air bersifat heterogen , pelaksanaannya tidak mudah dan kadangkala menimbulkan ggejolak sosial karena timbul kesan adanya dominasi salah satu kebudayaan daerah. Kesukaran lain juga disebabkan karena perkembangan kebudayaan nasional belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan akan kerangka acuan bagi segala sektor kehidupan sehingga sering orang cenderung mengacu kepada kebudayaan daerah atau suku bangsa masing-masing. Kebiasaan seperti ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial dan mengancam persatuan/kesatuan bangsa, apalagi kalau dilakukan oleh suku bangsa yang jumlah anggotanya besar atau kebetulan menguasai sumber kekuatan politik , ekonomi, dan sosial.
Pentingnya pengembangan kebudayaan nasional sebagai kebudayaan dominan dalam masyarakat majemuk sangat dirasakan terutama kalau orang mulai memperhatikan pembagian kekuasaan politik dan ekonomi. Seolah-olah hanya mereka yang benar-benar menghayati kebudayaan nasionallah yang mampu memanfaatkan peluang untuk ikut serta berperan dalam kehidupan politik nasional. Lebih berat lagi, seringkali orang menilai banyaknya sumbangan kebudayaan nasional berdasarkan banyaknya personel yang menduduki tempat-tempat di pusat kekuasaan politik, pemerintahan, dan ekonomi.
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks yang mengandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral dan kebiasaan yang diperolah manusia sebagai anggota masyarakat. Manusia beradaptasi, berintegrasi serta memanfaatkan alam sekitarnya dan mempergunakan kebudayaan. Tidak hanya untuk kehidupan individu tetapi untuk berkontribusi dalam proses pembangunan. Keberhasilan pelaksanaan pembangunan sangat bergantung kepada peranan pemerintah dan masyarakatnya. Keduanya harus mampu menciptakan sinegri. Tanpa melibatkan masyarakat, pemerintah tidak akan dapat mencapai hasil pembangunan secara optimal. Pembangunan hanya akan melahirkan produk-produk baru yang kurang berarti bagi masyarakatnya, tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.Pembangunan membawa perubahan dalam diri manusia, masyarakat dan lingkungan hidupnya. Serentak dengan laju perkembangan dunia, terjadi pula dinamika masyarakat. Terjadi perubahan sikap terhadap nilai-nilai budaya yang sudah ada. Terjadilah pergeseran sistem nilai budaya yang membawa perubahan pula dalam hubungan interaksi manusia di dalam masyarakatnya.
Proses pembangunan yang dimaksud yaitu proses perubahan kearah yang sesuai dengan tujuan awal yaitu mensejahterakan masyarakat dari segi pelestarian kebudayaan sehingga budaya yang ada di negara ini tetap dalam genggaman tanpa ada campur tangan pihak lain (negara lain) sehingga tidak ada lagi kebudayaan bangsa ini yang diakui oleh negara lain.  Proses pembangunan tidak hanya dari segi pendidikan, sosial, politik, hukum maupun agama tetapi kebudayaan turut serta dalam proses pembangunan. Di negara ini terdapat begitu banyak jenis kebudayaan-kebudayaan daerah yang harus dijaga sehingga tidak punah begitu saja. Pembangunan melalui kebudayaan dapat dilakukan dengan menjaga dan melestarikan kebudayaan sehingga tidak diakui oleh negara lain. Sebagai warga negara yang menjunjung tinggi nama bangsa ini hendaknya kita tidak malu mengakui kebudayaan daerah yang menjadi ciri khas bangsa ini. Karena dengan menjaga dan melestarikan budaya kita sebagai generasi penerus bangsa dapat ikut serta dalam proses pembangunan.
Pembangunan telah membawa perubahan dalam masyarakat. Perubahan itu nampak terjadinya pergeseran sistem nilai budaya, penyikapan yang berubah pada anggota masyarakat terhadap nilai-nilai budaya. Pembangunan telah menimbulkan mobilitas sosial, yang diikuti oleh hubungan antar aksi yang bergeser dalam kelompok-kelompok masyarakat. Sementara itu terjadi pula penyesuaian dalam hubungan antar anggota masyarakat. Dapat dipahami apabila pergeseran nilai-nilai itu membawa akibat jauh dalam kehidupan kita sebagai bangsa.
Sebagai contoh budaya Indonesia yang dulunya ramah-tamah, gotong royong dan sopan berganti dengan budaya barat, misalnya pergaulan bebas. Di Tapanuli (Sumatera Utara) misalnya, duapuluh tahun yang lalu, anak-anak remajanya masih banyak yang berminat untuk belajar tari tor-tor dan tagading (alat musik batak). Hampir setiap minggu dan dalam acara ritual kehidupan, remaja di sana selalu diundang pentas sebagai hiburan budaya yang meriah. Saat ini, ketika teknologi semakin maju, ironisnya kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut semakin lenyap di masyarakat, bahkan hanya dapat disaksikan di televisi dan Taman Mini Indonesi Indah (TMII). Padahal kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut, bila dikelola dengan baik selain dapat menjadi pariwisata budaya yang menghasilkan pendapatan untuk pemerintah baik pusat maupun daerah, juga dapat menjadi lahan pekerjaan yang menjanjikan bagi masyarakat sekitarnya.
Masyarakat sebagai unsur utama dalam proses pembangunan dapat dikatakan sebagai makhluk berbudaya, karena dua kekayaan manusia paling utama ialah akal dan budi atau yang lazim disebut pikiran dan perasaan. Dengan kedua hal tersebut kebudayaan dapat menjadi salah satu unsur proses pembangunan. Karena kebudayaan dapat dipelajari dari segi manapun. Misalnya dalam suatu organisasi yang bergerak dalam bidang seni mereka akan membuat sebuah kolaborasi dengan mempertunjukkan kesenian setiap daerah. Kesenian ini tidak hanya diperlihatkan pada masyarakat dalam negeri saja tetapi pada khalayak luar, sehingga kebudayaan kita tidak diclaim oleh pihak lain. Tidak hanya membuat pertunjukkan tetapi dengan memadupadankan kesenian tradisional dan modern sehingga dapat dilakukan oleh berbagai pihak dengan tidak meninggalkan ciri khas dari kesenian tersebut.
Pembangunan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran dan kemauan untuk menjaga dan melestarikan kebudayan daerah masing-masing tujuannya adalah mengubah perilaku masyarakat. Diselenggarakan dengan dasar-dasar perikemanusiaan, pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata dikarenakan masyarakat sebagai unsur yang dibutuhkan sebagai pelaku dalam proses pembangunan. Memperhatikan dinamika kependudukan, epidemiolog, ekologi, kemajuan iptek, serta globalisasi. Namun, tanpa peran yang optimal dari pemerintah, pembangunan akan berjalan secara tidak teratur dan tidak terarah, yang akhirnya akan menimbulkan permasalahan baru. Rakyat harus menjadi pelaku dalam pembangunan, masyarakat perlu dibina dan dipersiapkan dalam mengembangkan berbagai ciri khas daerah masing-masing ataupun daerah lain, merencanakan langkah-langkah yang diperlukan, melaksanakan rencana yang telah diprogramkan, menikmati produk yang dihasilkan dan melestarikan program yang telah dirumuskan dan dilaksanakan.
Pembangunan melalui kebudayaan menjadi salah satu faktor penting yang harus dilaksanakan untuk kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu ke depannya pemrintah perlu memperhatikan aspek kebudayaan untuk dijadikan landasan kebijakan dalam melaksanakan programnya masing-masing. Di samping itu pula peranan masyarakat dituntut aktif dalam pembangunan kebudayaan karena tanpa partisipasi masyarakat pelaksanaan pembangunan kebudayaan tidak dapat berhasil dengan sukses. Serta dapat menekan budaya asing yang semakin hari semakin menghantui bangsa ini.
The American Anthropological Association’s Training Manual in Development Athropology merumuskan sebuah definisi. Antropologi pembangunan adalah gabungan riset ilmiah dan penerapan aplikasi dalam siklus proyek pembangunan, yang objektif untuk meningkatkan keuntungan dan mengurangi konsekuensi negatif bagi keterlibatan komunitas masyarakat di dalam serta efek dari usaha pembangunan. Antropologi pembangunan terlibat dalam proyek pembangunan menurut berbagai cara yang variatif, peran khusus dideterminasikan dalam bagian dengan partikular dalam perjalanan siklus hidup proyek tersebut (Partridge 1984:1).
Para antropolog, Horowitz (1989) mengatakan, sudah menjadi terlalu sederhana, segan untuk memprogandakan sentralitas mereka dalam pembangunan. Dan, menurut Hoben, “dalam analisis terakhir, lembaganisasi dan dampak para antropolog dalam karya pembangunan tergantung pada kemampuan mereka untuk menunjukan keuntungan mereka dengan berperan serta sebagai para insider yang terpercaya (dalam lembaga-lembaga seperti U.S. AID) bermain beberapa peran dalam jangkauan proses pembuatan keputusan luas” (1982: 359).
Ilmu antropologi pembangunan hampir tak bisa diacuhkan menegakkan ajaran-ajaran utama dari pembangunan. Para ahli menemukan sebuah “sistem” yang tidak lebih dari permintaan yang telah dilatih; terlatih untuk merasa atau menemukan. Prosedur untuk menghasilkan pengetahuan sekitar negara Dunia Ketiga adalah dengan ditempelkan dalam proses-proses penguasa, termasuk sebuah rezim dan ekonomi negara utuh dari produksi budaya. Penelitian jenis ini akan juga memberdayakan ahli antropologi dan aktivis untuk menyelesaikan satu jenis pekerjaan yang sadar akan kondisi-kondisi produksi sendiri. Itu akan membantu menunda proses di mana situasi-situasi lokal tak bisa diacuhkan untuk diterjemahkan ke dalam campur tangan pembangunan. Cara lainnya, sifat yang tersembunyi dari pembangunan dihapus, dan posisi barat sebagai suatu pusat budaya ekonomi diperkuat. Seperti yang dilatih/dipraktikkan hari ini, menghadapi pembangunan dengan atau tanpa keikutsertaan sejumlah antropolog tersebut sampai pada satu tindakan dari teori dan dominasi sosial.